Demam Berdarah di masa radioterapi

Selasa, 03 Februari 2009

Pada hari selasa, di pertengahan oktober 2008, badanku meriang. Suhu badanku panas.
Sudah diberi obat penurun panas, namun panas hanya turun sebentar kemudian naik lagi 2 jam kemudian.
Aku menjalani pemeriksaan darah rutin, ternyata trombositku turun. Berhubung dokter spesialisku sedang ke luar negeri, aku menunda pemeriksaan hingga dokter datang.
Hari Jumat, dalam kondisi badan panas, aku kontrol ke dokter spesialisku di Jakarta Breast Center. Dokter memberiku obat penurun panas dan antibiotik.
Namun karena malamnya kondisiku tidak kunjung membaik akhirnya aku dan keluarga memutuskan untuk ke UGD RS Kramat.

Aku menjalani pemeriksaan darah rutin Pada waktu itu, suasana di UGD sangat menegangkan. Ada pasien penderita jantung yang mengalami sesak nafas. Anggota keluarganya ada yang menangis dan berteriak-teriak. Aku dan keluargaku jadi ikut tegang. Syukurlah akhirnya pasien tersebut selamat.

Hasil darah ternyata menunjukkan trombosit dan leukositku rendah. Karena aku sedang dalam masa radioterapi, maka dokter meminta pemeriksaan darah ulang untuk mengecek trombosit sekaligus anti dengue. Jadi dua kali ambil darah.
Dan hasilnya aku kena demam berdarah.

Jumat malam itu juga aku masuk ke ruang rawat inap untuk diinfus. Esoknya dokter memberitahuku bahwa Demam berdarah adalah penyakit 10 hari. Wah kalau dihitung-hitung berarti bisa-bisa aku lebaran di rumah sakit. Pasrah dan ikhlas, hanya itu yang bisa kulakukan.

Karena leukositku cukup drop, aku disuntik granocyt. Aku minum sari kurma, jus buah bit, dan air putih yang banyak. Aku tidak minum angkak karena khawatir dengan kandungan angkak yang mungkin berpengaruh terhadap pertumbuhan sel kanker.
Subhanallah Alhamdulillah Allahuakbar, hari selasa, sehari sebelum Idul Fitri, hasil pemeriksaan menunjukkan trombositku mulai naik. Pada saat visit, dokter menyampaikan kalau malam nanti membaik trombositnya maka aku boleh pulang. Rasanya senang sekali, puji syukur aku panjatkan pada Allah. Karena pertolongan Allahlah kondisiku membaik.

Benar, tepat pada malam takbiran, aku diantar bapak dan suamiku sudah boleh keluar dari RS.
Esoknya aku bisa berlebaran di rumah bersama keluarga.

Alhamdulillahi rabbil 'alamin.

Radioterapi di RS Gatot Subroto

September 2008 Awalnya aku bingung memilih rumah sakit tempat aku menjalani radioterapi. Ada beberapa rumah sakit yang memiliki mesin radioterapi di Jakarta, antara lain : RSCM, RS Kanker Dharmais, RS Gatot Subroto, RS Pertamina (lainnya saya belum tahu). Rujukan yang dokter Siloam berikan adalah RS Gatot Subroto. Akhirnya setelah menimbang-nimbang, aku memutuskan ke RS Gatot Subroto(RSGS).

Ruang tunggu pasien radioterapi di RSGS cukup luas dan ber-AC. Di sekeliling ruangan ada sofa cukup panjang, ditengah ruangan ada aquarium ikan laut yang ukurannya lumayan besar.

Ada dua pilihan jenis radioterapi di RSGS, dengan Cobalt dan Linac. Untuk Cobalt biayanya 1 paket radioterapi kurang lebih Rp. 12.000.000,- , sedangkan linac lebih mahal biayanya 1 paket kurang lebih Rp. 16.500.000,-.
Pemilihan jenis radioterapi ini ditentukan oleh dokter spesialis radioterapi.

Sebenarnya di RSGS menerima Askes, tapi karena aku belum punya kartu Askes, sementara aku harus segera menjalani terapi ini, akhirnya bayar tanpa askes.

Pada hari pertama, aku diperiksa dokter spesialis radioterapi. Setelah menjelaskan kronologis penyakitku, dokter memeriksaku dan kemudian mencoret-coret badanku dengan spidol untuk memberi tanda area sinar.
Setelah selesai, suster mengoleskan cairan pada tanda area supaya tidak cepat hilang.

Pada hari itu juga, aku diminta ke ruang CT Scan. Petugas CT Scan menempelkan plester di beberapa titik di area sinar. Dengan CT Scan ini, area sinar direkam supaya penyinaran lebih akurat.

Aku jalani radioterapi selama 30 hari (25 hari di area mastectomy, punggung kanan atas, leher dan 5 hari ekstra di leher).
Pelaksanaan radioterapi berlangsung kurang lebih 10 menit (termasuk persiapan). Yang membuat lama adalah antrinya.
Ternyata tidak sedikit orang yang bernasib sama denganku. Ada yang menderita kanker kelenjar getah bening, kanker rahim, kanker leher rahim dan lain-lain.

Di RSGS, aku jadi mendapat kenalan dan lingkungan baru. Bu Hamrah, orang makassar yang menderita kanker kelenjar getah bening, cukup akrab denganku. Sejak berkenalan di pemeriksaan awal radioterapi, kami jadi suka sharing dan saling support.

Mungkin inilah salah satu hikmahnya selama menjalani terapi ini.



Terima kasih teman

Senin, 02 Februari 2009


Assalamu'alaikum wr.wb.

Dear teman-teman,

Alhamdulillah, rasa syukur luar biasa saya rasakan karena saya dan suami telah selesai menjalankan ibadah haji dengan baik.
Terima kasih
banyak buat teman-teman, sahabat, kerabat semua yang telah banyak memberikan support, perhatian dan doanya terutama saat saya terbaring
di rumah sakit selama 18 hari.
Semoga Allah membalas kebaikan dan
ketulusan teman-teman semua.

Sedikit cerita…..
Satu minggu setelah saya lulus tes kesehatan haji kondisi saya sangat drop, saya mengalami sariawan dari mulut hingga usus, entah karena radiasi atau kemoterapi. Hal ini membuat saya harus dirawat di RS.
Saya keluar dari RS pada hari jumat, 28 November 2008 jam 21.30 dengan kondisi yang dapat dikatakan masih sakit. Kelamaan terbaring membuat saya kesulitan ntuk berdiri apalagi berjalan, badan terasa sangat berat. Namun Alhamdulillah, dalam kondisi ini dokter dan penyelenggara haji tetap mengijinkan saya berangkat.

Sabtu, 29 November 2008 jam 09.00 saya dan suami diantar keluarga, berangkat ke airport. Mata saya terasa sangat ngantuk karena selama di RS kualitas tidur saya sangat buruk, saya hanya bisa tidur sebentar lalu terasa nyeri akhirnya terbangun. Tetangga kerabat, teman mungkin yang melihat kondisi saya waktu berangkat banyak yang tidak tega, banyak yang berpikir mengapa tidak ditunda tahun depan saja hajinya.
Tidak sedikit dari mereka yang menangis.Tidak ada lagi yang bisa saya harapkan kecuali pertolongan Allah. InsyaAllah saya bisa.

Sampai di Jeddah, saya masih diare, airport yang berdesain tenda outdoor dan lamanya menunggu membuat perut saya makin terisi angin dan mules. Saya belum bisa makan, jadi hanya minum susu/teh. Obat saya (untuk usus) kena cekal, tidak lolos akhirnya mau tidak mau dibuang di airport.

Di madinah, kondisi masih drop, nyeri perut dan diare masih terasa, ditambah demam. Hal ini membuat saya tidak banyak beribadah di masjid nabawi.
Disini saya mulai belajar jalan dari tempat tidur ke toilet.

3 hari kemudian, ke shishah, apartemen sederhana, 1 kamar berlima. Kaki saya menjadi bengkak sekali. Sudah dinaikkan tapi tidak kempes juga. Alhamdulillah walau sakit, saya banyak disupport jg dengan teman2 haji jadi terasa lebih ringan. Di shishah, saya belajar makan nasi, belajar jalan, belajar sholat seperti orang normal. Rambut saya mulai rontok, telapak tangan dan kaki mulai mengelupas, bagian yang mengelupas awalnya perih. Bagian dada dan punggung kanan yang kena radiasi menjadi gosong, kulitnya juga mulai mengelupas. Saya berpikir semoga semua penyakit saya buang disini, kulit saya, rambut saya.

Di shishah, saya mendapat kiriman obat usus(pengganti yang kena cekal) dari ibu saya (setelah perjuangan yang panjang berhasil mengirimkan obat via pramugari, sahabat sepupu saya). Namun karena kondisinya sudah mau berangkat ke mina, muzdalifah dan arafah saya tunda pemakaian obat tersebut. Rencananya akan digunakan di makkah.

Umroh dapat dilaksanakan dengan baik. Tawaf qudum dan sai dilakukan di lt 2 dengan kursi roda didorong suami saya. Alhamdulillah lancar dan saya tidak sakit perut selama tawaf dan sai.

Mina, Muzdalifah, Arafah
Alhamdulillah mabit di mina, ambil batu di muzdalifah, wukuf di arafah dapat berlangsung baik. Kaki saya masih bengkak. Namun kondisi fisik secara umum sudah mulai membaik. Lontar jumroh awalnya diwakili suami karena kondisi saya drop dan kaki yang sangat membengkak. Subhanallah Alhamdulillah, Allah masih memberi kesempatan saya lontar jumrah di hari ketiga, dan sungguh mendapat kemudahan dan kelancaran. Waktu lontar, saya bisa berada di bibir jamarat sehingga memudahkan saya dalam melontar.

Di Makkah, Alhamdulillah hotelnya nyaman sekali. Di kamar ada 8 jendela, ketika dibuka kami dapat menyaksikan langsung view ka'bah dan orang yang bertawaf, Subhanallah. Alhamdulillah, diare mulai berkurang frekuensinya, saya mulai minum lasix untuk mengempeskan kaki dan Alhamdulillah dalam 3 hari kaki saya tidak bengkak. Hanya memang masih terasa memar di badan dan kaki. Saya mulai latihan jalan ke restoran, ke masjidil haram, seputaran hotel. Alhamdulillah saya bisa sholat di masjidil haram tanpa tongkat dan kursi roda.

Karena rambut saya rontok hebat, saya memutuskan untuk menggunduli
rambut saya di makkah. Ini gundul saya yang kedua kali akibat kemoterapi.

Ada kejadian yang entah kebetulan atau tidak. Pada waktu sebelum dzuhur saya dan suami sudah sampai di pelataran masjidil haram. Waktu duduk kami memilih tempat teduh, lalu sekitar 5 menit kemudian tempat kami duduk terasa panas karena matahari. Beberapa orang pindah mencari tempat teduh. Waktu itu suami saya bertanya "Mau pindah tidak?" Awalnya saya jawab "Disini saja tidak
apa-apa. Biar matahari ini membakar sel kanker dan penyakitku". Tapi berhubung adzan masih 10 menit lagi, wah lama-lama terasa panas juga. Saat suami saya mengajak pindah ke tempat teduh saya langsung setuju. Kami pindah ke tempat teduh yang lumayan jauh. Kami baru duduk kira-kira 5 menit, sinar matari sudah sampai ke tempat kami, yang mengherankan tempat sebelumnya justru kini menjadi teduh. Panasnya matahari menyinari kami berlangsung terus hingga selesai sholat.
Subhanallah, mungkin karena kata-kata saya tadi atau kebetulan, Wallahualam.

Mengenai obat usus yang dikirimkan dengan susah payah, akhirnya tidak saya gunakan. Subhanallah, sejak di makkah, saya sudah tidak diare lagi, jadi saya sama sekali tidak memakai obat tsb. Mungkin Allah memang tidak mengijinkan saya menggunakan obat tersebut, karena waktu di jeddah dicekal, dan ketika dikirim ulang ternyata saya sudah tidak diare.

Teman-teman, selama disana saya merasakan banyak sekali kemudahan dan kelancaran. Memang semua kesembuhan tidak instan datangnya. Selama disana saya sering mengalami demam dan sakit. Tapi sungguh kondisi saya sangat jauh lebih baik dari sebelum saya berangkat. Semua karena pertolongan Allah, karena ketulusan perhatian dan doa teman-teman sekalian yang mungkin telah diijabah oleh Allah. Sekali lagi terima kasih atas perhatian dan doanya, mungkin saya tidak bisa membalas apa-apa kecuali doa semoga Allah selalu melimpahkan segala kebaikan untuk teman-teman semua.

Wassalamu'alaikum wr.wb

Sari Sukmawati E R

Kemoterapi 1

Kemoterapi pertama (First line Chemo) telah kujalani. Perjuangan demi perjuangan kucoba jalani. Aku hanyalah manusia biasa, saat kanker menyapaku, aku begitu rapuh. Aku terus belajar dan terus belajar memahami hikmah dibalik ujian yang Allah berikan. Aku tahu skenario Allah tak pernah buruk untukku.

First Line Chemo kujalani di RS Siloam kebon Jeruk. Dengan pengetahuan seorang awam, aku serahkan pengobatan kankerku pada seorang dokter bedah. Dokter bedah ini sebenarnya sangat baik dan kompeten di bidangnya. Tapi ternyata dokterku itu masih kurang jam terbangnya dalam pengobatan kanker.

Kemoterapi pertama yang kujalani dibagi 6 cycle. Untuk meringankan beban sel normal akibat efek kemoterapi, dokter menjadwalkan kemoterapi dalam 12 sesi, jadi masing-masing cycle dibagi 2, a dan b. Dengan obat kemo CMF (Cyclophosphamide, Methotrexate, Fluoracil) + Anthracyclin (Epirubicin).

Pada awal kemoterapi aku merasakan mual bahkan muntah. Dua kali kemo sudah cukup membuat rambutku habis. Daripada rontok dimana-mana, kuminta ibuku untuk mencukur habis rambutku.

Alhamdulillah, keluargaku menerimaku apa adanya. Pada awalnya aku sendiri harus membiasakan diri dengan wajah gundulku. Aku khawatir anak-anakku akan takut melihat mamanya gundul, tapi Alhamdulillah, anak-anakku sama sekali tidak takut dan malah kadang dibuat “guyon” saja. Kadang aku dan anakku malah menyanyi gundul-gundul pacul, sambil ketawa-ketawa supaya anak-anakku terbiasa dengan mamanya yang gundul.

Fira, yang berumur 2,5 tahun (saat awal aku terdeteksi kanker) sangat mengerti mamanya. Dia tahu aku tidak bisa menggendong lagi padahal di usianya yang 2,5 tahun itu masih ingin digendong mamanya. Katanya “Mama nggak bisa gendong, mama sakit. Jalan aja” dengan bahasanya yang lucu.

Kadangkala kupandang dan kupeluk kedua anak-anakku disaat mereka tidur, tak terasa air mata menetes, Ya Allah, aku ingin hidup, aku tak ingin mereka kehilangan kasih sayang ibu kandungnya.

Di pertengahan cycle, ada kejadian yang tak terduga. Karena leukositku turun menjadi 2300, aku demam sampai akhirnya dirawat di RS selama 4 hari. Seminggu setelah itu, vena ditangan kiriku mulai terasa nyeri. Tangan kiriku bengkak dan melepuh karena ekstravasasi ( pecahnya pembuluh darah pada saat injeksi, sehinggga obat kemo merembes keluar dan mengakibatkan pembengkakan ). Rasanya bukan main sakitnya, aku jadi tergantung dengan obat pereda sakit.

Pernah saat melepuh itu, oleh dokter bagian melepuh itu disedot dengan suntikan untuk melihat apakah berisi nanah atau air. Alhamdulillah hanya air. Satu bulan aku recover dari bengkak akibat ekstravasasi.

Akibat tanganku yang bengkak ini, jadwal kemo jadi ditunda cukup lama. Dokter pun mengurangi dosis obat karena khawatir terhadap dampaknya pada kondisi fisikku. Mungkin inilah yang menyebabkan recurrence (kanker tumbuh lagi) di dalam masa kemoterapi.

Pada saat mandi tanpa sengaja, aku merapa ada benjolan sangat kecil dibawah scar mastektomi. Aku laporkan pada dokterku pada saat kemo 11. Dokter memutuskan untuk melakukan biopsi dengan melakukan operasi kecil. Satu hari setelah kemo, Aku masuk ke ruangan operasi lagi. Agak takut awalnya, tapi lama-lama aku bisa mengontrol diri bahkan saat operasi aku masih bisa ngobrol dengan dokter.

Sayangnya, keesokan harinya dokter menginformasikan bahwa hasil PA menunjukkan benjolan tersebut positif Carcinoma Duktal Invasif grade 3 dengan ekspresi seperti orang putus asa. Astaghfirullahal Azhiim…..

Dokter memintaku untuk melanjutkan pengobatan dengan radioterapi. Aku dirujuk ke RS Gatot Subroto. Dokter juga memberiku resep tamoxifen, namun hingga kini aku belum menembus obatnya karena aku memutuskan untuk mencari dokter onkologi yang benar-benar dapat membantu pengobatanku.

PET Scan dan second opinion di Singapura

24 Januari 2008

Beberapa hari setelah operasi, seorang teman yang aktif di yayasan kanker, membawakan majalah Pitapink. Awalnya aku masih takut membaca artikel tentang kanker. Tapi dengan berjalannya waktu dan perlunya informasi tentang kanker, kini aku justru mencari sebanyak mungkin informasi tentang kanker, khususnya kanker payudara.

Dari majalah itulah aku baru tahu tentang PET Scan.

PET (Positron Emission Tomography), disebut juga PET scan, adalah pemeriksaan diagnostik yang mampu menghasilkan gambar fungsi biologis tubuh manusia dengan jelas. Gambar PET sangat unik karena mampu menghasilkan fungsi kimiawi dari organ dan jaringan (metabolisme), sementara teknis pencitraan lain seperti X-ray, CT dan MRI memperlihatkan struktur (anatomi).

Menurut dokter, sebenarnya PET Scan tidak mutlak dilakukan, pasien kanker bisa melakukan tes lain untuk mendeteksi adanya mestastasis. Mestastasis awal dari kanker payudara, pada organ lain biasanya pada tulang dan paru-paru, yang bisa dideteksi dengan bonescanning dan Foto thorax.

Namun karena aku khawatir dengan hasil patologi lalu, dimana aku kena grade 3 yang artinya pertumbuhan sel kanker sangat cepat dan bersifat menyebar, maka aku memutuskan untuk melakukan PET Scan. Aku harap PET Scan bisa mendeteksi sel kanker diseluruh organ tubuhku, apakah ada mestastasis ke organ lain atau tidak.

Akhirnya dokter memberikan surat rujukan dan mempersilakan jika aku ingin mencari second opinion di negeri tetangga. Di Indonesia, rumah sakit yang bisa melakukan PET Scan belum ada. Negara terdekat yang memiliki peralatan PET Scan adalah Singapura dan Malaysia.

http://www.stricklandscanner.org.uk/images/staff/scanner_5Staff.jpg

Setelah mencari informasi aku memutuskan untuk PET Scan di Mt Elizabeth Hospital karena proses pendaftaran PET Scan dapat dibantu melalui perwakilannya yang ada di Jakarta.
Aku dijadwalkan PET Scan pada hari Kamis jam 11 siang karena slot pagi sudah penuh.

Rabu pagi, aku dan suamiku ke Bagian Radiologi di Mt Elizabeth untuk deposit PET Scan. Sehari sebelum PET Scan, kami harus deposit sekitar S$ 866, untuk pembelian tracer (FDG: zat radioaktif yang disuntikkan ke tubuh pasien sebelum PET Scan). Biaya PET Scan sekitar S$ 3157.

Sehari sebelum PET Scan aku hanya bisa mengkonsumsi kentang rebus, telor rebus dan air putih. Untuk sementara, makanan yang berserat tidak boleh dikonsumsi. Enam jam sebelum PET Scan, aku tidak boleh makan, hanya boleh minum air putih.

Jam 10.50 kami tiba di Mt Elizabeth, agak tergesa-gesa, karena paginya kami ke National Cancer Center (NCC) untuk periksa.
Setelah mengganti baju khusus dan mendapat penjelasan tentang prosedur PET Scan, aku diminta minum 1 butir obat (katanya glukosa) dan menghabiskan 1 gelas air putih. Setelah itu suster memasangkan jarum infus di tangan kiriku. Karena aliran darah kurang baik, terpaksa jarum dipindahkan ke dekat pergelangan tangan kiri. Ternyata suster di Singapura dan di Indonesia sama-sama mengalami kesulitan ketika memasang jarum infus, Mungkin karena pembuluh darahku yang kecil.

Aku diminta menunggu. Tidak lama kemudian, aku diminta berbaring di tempat tidur untuk disuntikkan FDG. Setelah suntikan tersebut, aku tidak boleh bergerak dan bicara kurang lebih selama 1 jam supaya cairan FDG dapat terdistribusi ke seluruh tubuh dengan baik. Setelah 1 jam, aku boleh duduk dan diminta minum 2 gelas air putih.

Aku menunggu giliran PET Scan sambil duduk di sofa depan ruangan PET Scan.

Pasien yang melakukan PET Scan pada hari itu cukup banyak, mayoritas dari negara tetangga. Hari itu saja ada tiga orang dari Indonesia. Setelah setengah jam menunggu, aku diminta masuk ruang PET Scan. Proses PET Scan dilakukan selama 20 menit. Setelah PET Scan aku diminta menunggu lagi sekitar 30 menit untuk memastikan perlu/tidaknya scan ulang dan syukurlah tidak perlu diulang.

Setelah PET Scan aku diberi Milo hangat, tapi aku hanya minum sedikit. Karena aku pernah membaca artikel yang katanya coklat tidak baik untuk pasien kanker.

Keesokan harinya jam 11, hasil PET Scan diterima dalam sebuah amplop coklat besar. Kami langsung ke NCC untuk mencari second opinion ke medical onkology sesuai rujukan dokter. Ternyata dokter yang dirujuk, yaitu dokter Ho Gay Hui adalah Surgical Onkology dan beliau dokter senior yang sangat sibuk, akhirnya aku didaftarkan untuk periksa dengan dokter Wong Ze Wan, medical onkology.

Saat itu, aku sendiri belum berani membuka hasil PET Scan tersebut, rasanya lebih mendebarkan daripada membuka amplop coklat berlogo garuda.

Hingga tiba giliranku diperiksa, dokter Wong ternyata masih muda, mungkin masih 40-an. Setelah melihat profileku di PC-nya, dokter memeriksa hasil PET Scan dan alhamdulillah clear dan tidak ada penyebaran sel kanker. Namun demikian berdasarkan hasil mastectomy lalu, dokter memperkirakan aku kena stadium 3A.
Sebenarnya dokter agak kesulitan membaca hasil lab karena laporannya menggunakan bahasa Indonesia.
Dengan keterbatasan yang ada, saran dokter adalah sebagai berikut :

1. Chemoterapy 6 cycle

2. Radioteraphy 5 weeks (25 days)

3. Jika Hormon Receptor ER atau PR positif, maka ditambah obat tamoxifen selama 5 tahun

4. Jika hasil IH, Her2 nya positif, ditambah Herceptin

Mengenai makanan, dokter tidak banyak melarang, yang penting menghindari daging merah, lemak, makanan yang digoreng, mengandung pengawet, pewarna. Pengolahan makanan terbaik adalah steam/rebus. Aktifitas sehari-hari dapat dilakukan, kecuali angkat benda berat terutama menggunakan tangan kanan.

Aku memberitahu dokter bahwa aku akan melakukan pengobatan selanjutnya di Indonesia. Dengan ramah, dokter mengatakan akan tetap membantuku untuk memberikan saran / report jika memang hasil patologi hormon receptor sudah diperoleh melalui email.

Karena jadwal yang sangat ketat, jam 3.30 pm harus take off, maka konsultasi tidak berlangsung lama. Langsung dari NCC kami menuju ke Changi untuk kembali ke Jakarta.

Alhamdulillah perjalanan berlangsung lancar. Alangkah bahagianya aku, karena di airport Soekarno Hatta, orang tuaku bersama kedua anakkku telah menjemputku.
Dalam hatiku aku selalu bersyukur atas setiap detik kebahagiaan dan nikmat yang Allah berikan. Aku selalu memohon agar Allah memberikan aku sembuh dan sehat kembali.

Saya kena kanker payudara

8 Januari 2008

Sungguh tidak menyangka kalau ini bisa menimpa diriku. Dokter telah memvonisku terkena kanker Payudara di usia 29 tahun.

Sebenarnya benjolan di payudara kananku sudah lama ada. Aku menyadarinya pada bulan April 2007. Aku sampaikan hal itu pada suamiku.

Awalnya kami bingung kemana kami harus periksa. Dengan mempertimbangkan waktu dan jarak, akhirnya kami memeriksakan diri ke RS Kanker di Jakarta. Waktu itu kami mengambil paket deteksi dini kanker untuk memastikan bahaya atau tidaknya benjolan tersebut.

Tahap-tahap pemeriksaan saya lalui. Dokter mengajarkan cara SADARI (periksa payudara sendiri) dan saya dianjurkan untuk melakukan USG. Menimbang usiaku pada waktu itu yang masih kurang dari 30 tahun, dokter tidak melakukan mammografi.

Dokter USG menyatakan benjolan pada payudara kananku adalah kelenjar susu dan hal itu tidak berbahaya.
Mengetahui hasil pemeriksaan deteksi dini tidak membahayakan, membuat aku sekeluarga merasa tenang dan kurang memperhatikan perkembangan benjolan tersebut.

Perhatian beralih karena pada bulan Mei putraku terserang tifus dan dirawat 6 hari di RS. Pada bulan Agustus aku operasi gigi bungsu kiri bawah dan penyembuhannya cukup lama. Bulan Oktober, putraku operasi Hernia.

Lama-lama aku merasa benjolan di payudara kananku makin membesar dan mulai terasa sakit. Karena pada bulan Desember aku telah didaftarkan ujian CISA dan aku berharap bisa ujian dulu, maka kami menunda pemeriksaan mamografi hingga selesai ujian.

Akhirnya Senin, 17 Desember 2007, bersama suamiku, sepulang dari kantor, kami memutuskan untuk melakukan mammografi di Lab yang baru dibuka di Kebon Jeruk. Ternyata Lab tersebut tidak bisa dilakukan mammografi karena mesinnya sedang ada perbaikan. Langsung saja, kami ke RS di Kebon Jeruk.

Sesampainya disana, kami langsung ke bagian radiologi. Ternyata harus ada surat rujukan dari dokter. Kami mencoba ke spesialis payudara dan ternyata sudah tutup.

Daripada menunda lagi, akhirnya kami langsung ke dokter bedah yang sudah kami kenal disana. Setelah Dokter memeriksa benjolan pada payudara kananku, dokter curiga bahwa benjolan tersebut adalah kanker. Perasaanku sangat kalut pada waktu itu. Badan rasanya lemas. Aku pikir benjolan tersebut adalah Tumor jinak. Dokter menganjurkan aku harus berhati-hati karena menurut pengalamannya dalam memeriksa payudara, benjolan seperti itu bukan tumor tapi cenderung ke arah kanker.

http://www.madisonradiologists.com/Images/ContentPics/SvcMammography_Mammogram_normal.jpg

Hari itu juga aku diminta untuk mammografi dan cek darah. Hasil Mammografi menunjukkan ada mass sebesar telur ayam kampung pada payudara kanan, suspect malignancy (kanker), dan dicurigai ada metastasis ke kelenjar getah bening kanan.
Aku dan keluarga cukup kaget dengan hasil pemeriksaan tersebut. Karena pada pemeriksaan bulan April lalu tidak menunjukkan hasil yang membahayakan.

Sambil menunggu hasil lab, kami mencoba mencari second opinion. Esoknya, aku ditemani orangtuaku memeriksakan diri ke RS Kanker, tempat kami periksa april lalu. Melihat hasil mammografi, dokter agak kaget. Aku menunjukkan hasil pemeriksaan april lalu. Entah apakah untuk menenangkan diriku atau apa, dokter mengatakan bahwa beliau beranggapan benjolan tersebut adalah infeksi. Dokter memberikan aku resep untuk mengobati infeksi tersebut. Jika dalam dua minggu, benjolan tidak mengecil, maka akan dilakukan biopsi pada tanggal 4 Januari. Dokter memberi resep 2 macam obat, Inflamin dan satu lagi aku lupa namanya, yang total harganya hampir Rp. 500.000,-

Setelah sampai di rumah, perasaan masih bimbang dan ragu. Dalam hati bertanya apakah betul ini hanya infeksi, apakah menunggu 2 minggu itu tidak terlalu lama. Orangtuaku terus menanyakan RS mana yang akan kupilih. Karena bimbang, siang itu aku sholat istikharah. Aku akan minum obat itu dulu, pikirku. Sorenya perasaan bimbang muncul lagi, setelah sholat ashar dan istikharah, akhirnya aku putuskan untuk mencoba kembali ke dokter bedah.

Dokter bedah tersebut memeriksa hasil mammografi dan hasil Lab. Menurut dokter, benjolan tersebut bukan infeksi karena hasil cek darah tidak menunjukkan adanya infeksi. Dokter mengatakan tidak ada jalan lain, harus operasi. Pada saat operasi akan dilakukan biopsi, detik itu juga akan diperiksa ganas tidaknya benjolan pada payudaraku. Jika jinak, dokter hanya akan mengambil benjolan di payudara dan di Kelenjar getah bening. Namun jika tidak, maka akan dilakukan pengangkatan payudara kananku (mastectomy). Aku pasrah, mungkin ini jalan terbaik yang sudah diatur Allah untukku. Aku tetap bersyukur karena Allah telah menunjukkan jalan terbaik untuk penyembuhanku.

Sore itu juga aku diminta foto thorax dan malamnya aku sudah menginap di RS untuk persiapan operasi besok. Satu jam sebelum operasi aku di USG abdomen, hasilnya tidak ada kelainan. Rabu, 20 Desember 2007, jam 9.00, aku masuk ruang operasi. Sebelumnya aku sudah pernah operasi usus buntu dan caesar, namum belum pernah aku merasa setakut ini. Aku menguatkan diri, dalam hati berkata : Insyaallah aku bisa menjalani operasi ini dengan baik. Aku akan baik-baik saja.

Suster mengalami kesulitan ketika memasang jarum infus, sampai akhirnya dokter sendiri yang memasangkan infus. Ruang operasi terasa dingin. Datang seorang dokter, sambil mengatakan bahwa aku akan tertidur selama beberapa menit, dia segera memasukkan cairan melalui infus. Tidak sampai 1 menit aku sudah tidak sadarkan diri. Ketika siuman, aku merasakan kedingingan yang luar biasa. Mungkin setengah jam aku di ruang pemulihan. Aku pindah ke ruang perawatan. Saat itu aku belum tahu operasi yang dilakukan besar atau kecil. Aku memperhatikan ada perban rapat disekeliling bagian dada dan ada kantong darah untuk membuang cairan sisa operasi. Aku mulai menduga ini bukan operasi kecil.

Setelah sampai ke ruang perawatan, aku lihat jam menunjukkan jam 13.00. Ya Allah, ini operasi besar, berarti aku benar menderita kanker, dalam hatiku. Ada perasaan takut dan sedih pada waktu itu, pikiran macam-macam. Sampai aku tidak mau sendiri, aku selalu minta ditemani.

Berikut ini hasilnya :
Hasil histologi dan sitologi :
Operasi pengambilan benjolan :
Potong beku (VC)
Makroskopik :
1 buah jaringan uk ± 4x3, 8x2 cm, pada pembelahan keabu-abuan, permukaan rapuh tidak mengkilap, sebagian cetak.
Mikroskopik :
Carcinoma Mammae duktal invasif, grade 3. Tampak pula komponen DCIS (Duktal CA in situ) tipe solid, cribriform, mikropapiler.

Masectomy
Makroskopik :
Jaringan mastektomi uk ±15x9C3½cm, pembelahan tidak jelas lagi tumor, hanya bagian putih panat, serta ditemukan ± 10 buah jaringan KGB, terbesar uk ± 2x2 cm, sebagian cetak.
a. bagian-bagian putih/dasar sayatan
b. KGB

Mikroskopik :
Pada sediaan mastektomi tampak pula penyakit fibrokistik mammae dengan fokus DCIS (Ductal CA in situ).
Pada dasar sayatan ditemukan nodul carcinoma.
Kelenjar-kelenjar getah bening (10 buah) 1 yang besar bertanda benang mengandung metastasis. Satu lagi dari 9 KGB yang lain juga mengandung metastasis.

Karena pada hari ke-3 Hb-ku turun menjadi 7, dokter segera menganjurkan transfusi 2 kantong darah, yang dilakukan hingga malam hari. Esoknya Hbku naik menjadi 9.7, sehingga dokter mengijinkan aku pulang ke rumah.
Kondisiku waktu itu, untuk duduk saja rasanya lelah, kalau lama jantung jadi berdebar, kepala agak pusing.

Alhamdullah kondisiku sudah lebih baik, aku masih menunggu hasil patologi untuk menentukan jenis pengobatan berikutnya. Hingga kini, Aku masih membangun semangat, aku mau sembuh. Keluargaku masih sangat membutuhkanku.
Insyaallah aku akan lalui ujian ini dengan baik.

Inilah saya...

Dalam blog ini saya akan share beberapa pengalaman dan kejadian yang saya alami sehari-hari, terutama sejak saya terdiagnosa kanker payudara desember 2007 lalu.
Saya percaya dibalik ketentuan yang telah Allah tetapkan tersimpan hikmah yang besar untuk saya dan keluarga.
Semoga bermanfaat